Mencintai Dan Berpisah Karena Allah




Mencintai Dan Berpisah Karena Allah
            Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat yang kebanyakan berbaju hitam memadati lkasi pemakaman.
            Diantara begitu banyak orang, perempuan berparas cantik  itu berdiri dengan mengenakan pakaian dan kerudung berwarna putih. Ekspresi enang terlihat di raut wajah yag terbalut kesedihan.
            Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, perempuan itu mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian membisikan kata-kata  yang tak terdengar dengan perasaan dan suasana yang sulit kugambarkan.


            Aku melihat keharuan di antara para pelayat menyaksikan adegan itu. Perempuan itu adalah istri dari laki-laki yang pada hari itu di kuburkan, dia adalah kakakku bernama Khadijah.
            Setelah aara pengburan selesai  satu persatu pelayat mengucapkan kalimat-kaliamat duka cita kepada perempuan tersebut, dia menyambut ucapan tersebut dengan senyum manis dan kepedihan yang telah hilang dari wajahnya, seolah-olah pada saat yang seharusnya menyedikan itu dia merasa bahagia.
            Ku dekati kakakku,”mba, yang sabar ya,, In syaa Allah dia ditrima dengan baik di sisiNya,”ujarku perlahan. Dia menatapku dengan senyum tanpa kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat ekspresinya, tapi perasaan itu rasanya tda mungkin kuungkapkan dalam situasi seperti ini.
            Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah mba Khadijah. Ku temui ia di taman belakang rumah sedang membuat syal seperti apa yang sering dilakukannya. Ku sapa dia dengan wajar,”Assalamu’alaikum, sedang sibuk mbak...?,”tanyaku
“Wa’alaikumsalam, oh adikku ayo duduk dulu,”jawabnya sambil membereskan benang yang berserakan di atas meja.
“saya ngganggu mbak,?,”tanyaku lagi.
“kenapa harus mengganggu adikku, ini mba sedang menyelesaikan syal agar dzikir nanti malam tidak terganggu dengan hal sepele ini ,”jawabnya.
            Sesaat setelah jawaban terakhir suasna membisu diantara kita. Dengan hati-hati saya ajukan persaan yang slama beberapa har ini meresahkan hatiku,”mbak,, apakah mba tidak merasa sedih dengan kepergian suamimu,?,”tanyaku. Dia menatapku dan berkata,”kenpa kau bertanya seperti itu..?,’’. Aku tidak segera menjawab karena aku takut kalau dia tersinggung,”karena mba justru terlihat bahagia menurutku. Mba masih bisa tersenyum pada saat pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan air mata pada saat kepergian suamimu, dan juga tidak merasa kehilangan,”ujarku.Dia mnatapku lagi dn menghela nafas panjang.”Apakan setiap kesedihan harus di lampiaskan engan air mata,?,”sebuah pertanyaan yang menggetarkan hatiku dan tak sanggup ku jawab.
            Tak lama kemudan diapun melanjutkan kembali pertanyaanya,”Kami telah bersama sekian lama, sebagai seorang perepuan aku tentu sangat kehilangan seorang laki-laki ang sangat aku cintai, tapi aku juga seorang istri yang memiliku kewajiban terhadap suami. Dan keegoisanku sebagai seorang  perempuan haru dihilangkan ketika berhadapan degan tugas seorang istri,”katnya tenang penuh keharuan.
            “Maksud mba apa..??” aku belum mengerti apa yang dikatakannya. Kemudian dia menjawab “sebuah kesedihan tidak harus air mata, kadang kesedihan juga bisa berwujud senyum dan tawa”. Mba sedih sebagai seorang perempuan, tetapi mba juga bahagia menjadi seorang istri. Suamiku adalah seorang lelaki yang baik, yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan, tapi dia juga selalu memberi teguran jika mbak mempunyai sebuah kesalahan. Dia sesosok yang selalu mendidik istrinya di jalan-Nya seama hidupnya.
            Dia mengarjakan ku tentang banyak hal. Dulu dia selalu mengatakan “sayang” padaku setiap hari bahkan dalam keadaan kami yang sedang bertengkar. Kadang ketika kami tak saling menyapa karena marah, dia menyisipkan kata sayang padaku. Ketika itu aku bertanya kepdanya “kenapa?”. Dia menjawab, karena dia tidak ingin aku mengetahuinya, bahwa dia menyayangiku dalam kondisi apapun. Dia hanya ingin aku tahu bahwa dia menyayangiku karena Allah. Jawaban itu masih ku ingat sampai sekarang.
            “Perempuan mana yng tidak sedih kehilangan laki-laki yang begitu menyayanginya. Tapi..” Dia menghentikan kata katanya dengan mata yang sedikit  berkaca-kaca. “Tapi apa mba?” tanyaku. “Tapi sebagai sebagai seorang istri, mba tidak boleh menangis.” Katanya sambil tersenyum. “Kenapa?” tanyaku, perlahan matanya menerawang.
“Sebagai seorang istri, mba tidak ingin dia pergi dengan melihatku sedih, selama hidupnya dia bukan hanya laki-laki tetapi dia seorang guru bagiku. Dia tidak melarangku untuk bersedih, tetapi dia selalu melarangku untuk meratap. Dia mengatakan bahwa  Allah tidak suka melihat hamba yang senang, di dunia ini hanya sementara, untuk apa di tangisi .” kemudia perempuan yang ber paras cantik itu melanjutkan ceritanya. “pada suatu malam setelah kami sholat malam berjama’ah, dia menangis. Tangis yang tak pernah aku lupakan. Dia berkata kepadaku bahwa jika suatu saat nanti di antara kita ada yang meninggal terlebih dahulu, kita tidak boleh bersedih ataupun menangis, karena siapapun yang pergi akan merasa tidak tenang dengan kehadiran tangisan”. Sebagai seorang istri aku wajib menuruti kata kata suami. “Pemakaman bukan lah akhir dari kehidupan tetapi langkah awal dari perjalanan. Kemudian ada pintu gerbang dari keabadian. Saat didunia ini , aku menaatinya dan selalu ingin bersama yang aku cinta. Dia adalah orang yang baik. Dalam perjalanan waktu dia lah yang pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk menemui-Nya, dia selalu mengatakan bahwa baginya Allah adalah sang kekasih. Suami mengajarkanku untuk selalu mencintai-Nya. Saat seorang kekasih memanggil apakah kita harus bersedih..?? Dia bahagia dengan kepergiannya. Dalam Syahadat terakhirya dia tersenyum, dan sungguh egois jika aku bersedih melihatnya bahagian Sambungnya.
Tanpa memberi kesempatan untuk berkata serangkaian kata terus mengalir dari perempuan itu “Aku bahagia melihat dia bahagia, dan aku ingin pada saat aku terakhir melihatnya, aku ingin dia mengetahui bahwa, baik didunia maupun di akhirat, aku mencintainya dan kau berterimakasih karena dia telah meninggalkan harta yang begitu berharga yaitu cinta kepada Allah SWT”.
“dulu dia pernah mengatakan padaku, jika kita tidak bisa bersama didunia ini, aku tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, aku dan dia akan bertemu dan bersama di akhirat nanti , bahkan di Syurga Allah, selama kita masih berada di jalan Allah. Dan dia telah memakai perjalanannya dengan baik, do’a kan dia ya dik!!, Semoga aku juga bisa memulai perjalananku denagn baik juga. Aku sayang dia dan ingin bertemu lagi”. Kali ini aku melihat mba tersenyum dan dalam kehilangan beberapa tetes air mata akupun tak bisa berkata kata lagi...
---------------------TAMAT--------------------